Minggu, 31 Mei 2009

Balasan Kesabaran


Anas bin Malik r.a. berkata, "Anak laki-laki Abu Thalhah dari Ummu Salamah meninggal dunia." Maka, istrinya berkata kepada keluarganya, 'Jangan kalian beritakan kepada Abu Thalhah tentang kematiannya, sampai aku sendiri yang mengabarkannya'!"

Anas bin Malik berkata, "Abu Thalhah datang dan dihidangkan kepadanya makan malam, maka ia pun makan dan minum, sang istri kemudian berdandan indah, bahkan lebih indah dari waktu-waktu yang sebelumnya. Setelah dia merasa bahwa Abu Thalhah telah kenyang dan puas dengan pelayanannya, sang istri bertanya, 'Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu tentang suatu kaum yang meminjamkan sesuatu kepada sebuah keluarga, lalu mereka mengambil barang yang dipinjamkannya, apakah mereka berhak menolaknya?' Ia berkata, 'Tidak (berhak)!' 'Jika demikian, maka mintalah pahalanya kepada Allah tentang putramu (yang telah diambilnya kembali)!' kata sang isteri. Suaminya menyergah, 'Engkau biarkan aku, sehingga aku tidak mengetahui apa-apa, lalu engkau beritakan tentang (kematian) anakku?' Setelah itu, ia berangkat mendatangi Rasulullah saw. lalu ia ceritakan apa yang telah terjadi."

"Maka, Rasulullah saw. bersabda, 'Semoga Allah memberkahi kalian berdua tadi malam.' Anas berkata, 'Lalu istrinya mengandung dan melahirkan seorang anak. Kemudian Abu Thalhah berkata kepadaku, 'Bawalah dia kepada Nabi saw.' Lalu aku bawakan untuknya beberapa buah kurma. Nabi saw. lalu mengambil anak itu seraya berkata, 'Apakah dia membawa sesuatu?' Mereka berkata, 'Ya, beberapa buah kurma,' Nabi saw. kemudian mengambilnya dan mengunyahnya, lalu diambilnya dari mulutnya, kemudian diletakkannya di mulut bayi itu dan beliau menggosok-gosokkannya pada langit-langit mulut bayi itu, dan beliau menamainya Abdullah." (HR Al-Bukhari).

Dalam riwayat Al-Bukhari, Sufyan bin Uyainah berkata, "Seorang laki-laki dari shahabat Ansar berkata, 'Aku melihat mereka memiliki sembilan anak. Semuanya telah hafal Alquran, yakni dari anak-anak Abdullah, yang dilahirkan dari persetubuhan malam itu, yaitu malam wafatnya anak yang pertama, yaitu Abu Umair yang Nabi saw. mencandainya seraya berkata, 'Hai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan anak burung pipit'?''

Dalam riwayat lain, lihat Baradul Akbad hlm. 25 disebutkan, "Ia berkata, 'Maka istrinya pun hamil mengandung anaknya, lalu anak itu ia beri nama Abdullah, lalu Rasulullah saw. bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam umatku orang yang memiliki kesabaran seperti kesabaran seorang wanita dari Bani Israil.' Kepada beliau ditanyakan, 'Bagaiman beritanya wahai Rasulullah?' Beliau bersabda, 'Dalam Bani Israil terdapat wanita bersuami yang memiliki dua anak. Suaminya memerintahkannya menyediakan makanan untuk orang-orang yang ia undang. Para undangan berkumpul di rumahnya. Ketika itu kedua anaknya keluar untuk bermain, tiba-tiba mereka terjatuh ke dalam sumur dekat rumahnya. Sang istri tidak hendak mengganggu suaminya bersama para tamunya, maka keduanya ia masukkan ke dalam rumah dan ditutupinya dengan pakaian. Ketika para undangan sudah pulang, sang suami masuk seraya bertanya, 'Di mana anak-anakku?' Istrinya menjawab, 'Di dalam rumah.' Ia lalu mengenakan minyak wangi dan menawarkan diri kepada suaminya, sehingga mereka melakukan jimak. Sang suami kembali bertanya, 'Di mana anak-anakku?' 'Di dalam rumah,' jawab istrinya. Lalu sang ayah memanggil kedua anaknya. 'Tiba-tiba mereka keluar memenuhi panggilan. Sang istri terperanjat, 'Subhanallah, Mahasuci Allah, demi Allah keduanya telah meninggal dunia, tetapi Allah menghidupkannya kembali sebagi balasan dari kesabaranku!"

Jumat, 29 Mei 2009

Bahaya Sikap Tergesa-gesa dalam Mengafirkan Seorang Muslim

Pada hakikatnya mengafirkan seseorang adalah hak Allah SWT semata, sehingga tidak diperbolehkan mendahului ketentuan-Nya, kecuali dengan izin Allah SWT dan berdasarkan pengetahuan, atau berdasarkan nash-nash Alquran dan Sunnah Nabi saw serta hujjah (dalil) yang pasti dan tidak diragukan. Hal demikian karena, iman dan kafir terdapat dalam hati, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang, kecuali Allah SWT.

Tanda-tanda lahiriyah yang terdapat pada seseorang tidak secara meyakinkan dan pasti menunjukkan apa yang terdapat dalam hati, tetapi hanya bersifat dugaan. Sementara, Islam melarang mengikuti dugaan (prasangka) sebagaimana terdapat pada banyak nash Alquran dan Sunnah, dan dilarang pula hanya mencari -cari alasan atau pertanda atas suatu tuduhan, terutama dalam persoalan-persoalan akidah. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain...." (Al-Hujurat: 12).

Oleh karena itu, Rasulullah saw memperingatkan Usamah bin Zaid yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan 'Laa Ilaha Illallahu' (Tiada Tuhan selain Allah), sebagaimana pula Allah memperingatkan para sahabat yang hendak pergi berperang agar tidak membunuh seseorang yang memberi salam kepada mereka berdasarkan prasangka mereka bahwa ia mengucapkan salam tersebut hanya kemunafikan dan ketakutannya, maka Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepadamu, 'kamu bukan seorang mukmin' (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu terdahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (An-Nisaa': 94)

Dengan demikian, adalah suatu keharusan mengetahui ketentuan hukum tentang seorang muslim yang keluar dari Islam dan masuk dalam kekafiran. Seorang muslim tidak dapat mengafirkan seseorang, kecuali berdasarkan petunjuk yang jelas seperti matahari di siang hari. Adapun bahaya dari sikap mengafirkan seorang muslim tanpa petunjuk yang jelas dapat menimbulkan beberapa akibat buruk yang menimpanya, di antaranya:


  1. Perlindungan terhadap darah dan hartanya menjadi hilang, sehingga tidak ada hukum qishash bagi pelakunya, tetapi hanya diasingkan.
  2. Memisahkan dirinya dengan pasangan (istrinya) dan memutuskan sebab warisan antara dirinya dan pasangannya.
  3. Kekuasaannya pada anak-anaknya menjadi hilang, karena tidak ada kepercayaan mereka kepadanya.
  4. Kepemimpinannya atas kaum muslimin putus dan harus dimusuhi.
  5. Terjadi pembunuhan atas dirinya.
  6. Tidak dimandikan dan tidak pula dikafani, serta tidak dapat dikuburkan di komplek pemakaman kaum muslimin.

Dan, akibat-akibat lain yang berbahaya yang muncul akibat klaim pengafiran yang tergesa-gesa tanpa berdasarkan bukti yang jelas. Jika bukti-buktinya banyak dan jelas, maka hilanglah bahaya pengafiran tersebut. Sebagaimana dituntutnya bukti-bukti pengafiran dan tidak adanya halangan untuk memutuskannya, maka diwajibkan pula penelitian dan pembahasan yang mendalam sebelum dikeluarkannya hukum pengafiran tersebut, terutama terhadap orang-orang yang telah menyatakan keislaman mereka dengan mengucapkan syahadat 'Laa Ilaha Illallahu Muhammadur Rasuulullahi' (Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah).

Imam as-Syaukani ra mengatakan, "Memutuskan kekafiran seseorang haruslah dengan keterbukaan dan dengan ketenangan hati serta kedamaian jiwa, sehingga tidak ada keputusan yang diterima dari dugaan kemusyrikan, terutama jika tidak mengetahui adanya penyimpangan dari jalan Islam. Juga tidak ada anggapan seseorang melakukan perbuatan kafir selama ia tidak keluar dari Islam dan menjadi kafir, dan tidak juga dapat ditentukan seseorang itu kafir hanya berdasarkan ucapannya yang menunjukkan ucapan seorang kafir, sedang ia tidak meyakini maknanya.

Maka, tidak setiap perbuatan atau perkataan yang menunjukkan kekafiran dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir, jika ia seorang muslim dan tidak mengetahui maksudnya. Akan tetapi, jika maksudnya sudah jelas dan hujjah (dalil) telah ditegakkan baginya dengan penjelasan bahwa perbuatan demikian dapat menjadikannya kafir, tetapi ia tetap melakukannya, maka ia adalah kafir. Jika kenyataan itu belum jelas, maka tidak diperbolehkan tergesa-gesa menuduhnya kafir.

Penjelasan di atas telah ditegaskan banyak nash yang melarang keras mengafirkan seorang muslim tanpa bukti yang jelas. Di antaranya sabda Rasulullh saw, "Orang yang mengatakan kepada saudaranya, 'Hai kafir', maka hal itu akan menyebabkan salah seorang di antara keduanya terbunuh." ( HR al-Bukhari). Sabda beliau yang lain, "Orang yang memanggil seseorang kafir, atau berkata, 'musuh Allah', sedangkan orang tersebut tidak demikian, maka ia telah sesat." (HR Muslim)

Ibnu Hajar berkata, "Hadis tersebut dimaksudkan untuk mencegah seorang muslim mengatakan demikian kepada saudaranya sesama muslim...." Disebutkan bahwa hadis ini menjelaskan seseorang yang mengafirkan saudaranya, kekurangan, dan dosanya dikembalikan kepadanya. Pengertian demikian ini dapat diterima. Disebutkan pula bahwa tindakan tersebut dikhawatirkan akan terus berlanjut pada kekafiran, seperti dikatakan bahwa perbuatan dosa adalah jalannya kekafiran, sehingga dikhawatirkan orang yang melakukannya akan mengalami suu'ul khatimah (meninggal dalam keadaan yang jelek).

Dari semua pendapat tersebut, saya menegaskan bahwa orang yang menyebut kafir saudaranya yang tidak diketahuinya kecuali keislamannya dan tidak ada keraguan dalam tuduhannya, maka ia adalah kafir. Ia menjadi kafir karena mengafirkan saudaranya. Jadi, pengertian hadis ini adalah bahwa pengafiran tersebut kembali kepada orang yang mengafirkan saudaranya, dan pendapat yang kuat adalah pengafiran dan bukannya kekafiran, seakan-akan ia mengafirkan dirinya, karena ia mengafirkan seseorang yang seperti dirinya, dan siapa yang tidak mengafirkannya selain orang kafir yang tidak mempercayai kebenaran agama Islam.

Di dalam hadis-hadis seperti ini juga terdapat peringatan keras untuk tidak tergesa-gesa mengafirkan sesama muslim, karena tindakan demikian mengandung ancaman terhadap kehormatan seorang muslim yang telah tegas keislamannya berdasarkan keyakinan. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menuduh seseorang kafir, kecuali setelah mendapatkan bukti yang pasti akan kekafirannya secara meyakinkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, hadis-hadis demikian merupakan tameng bagi manusia untuk tidak melakukan tuduhan tanpa alasan kepada sesamanya. Tuduhan kafir kepada sesama muslim akan menyebabkannya terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang merupakan bagian dari kekafiran atau kemusyrikan ketika hukum diberlakukan baginya.

Sumber: Al-Jahlu bi Masaailil i'tiqad wa Hukmuhu, Abdur Razzaaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indosia

Ilmu yang Wajib Diketahui Mukallaf

Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Diwajibkan kepada setiap mukallaf mengetahui perintah-perintah Allah, sehingga ia mengetahui perintah-Nya supaya beriman kepada-Nya, dan perintah yang berkaitan dengan ilmunya sehingga ketika ia diwajibkan mengeluarkan zakat, ia wajib mempelajari ilmu tentang zakat, jika ia diwajibkan melaksanakan haji, ia wajib pula mempelajari ilmu tentang haji, dan demikian seterusnya. Kemudian, diwajibkan pula kepada seluruh umat pada umumnya mengetahui semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw supaya ilmu yang disampaikan beliau tidak hilang dari umatnya, yaitu segala sesuatu yang telah disyaratkan Alquran dan sunnah. Akn tetapi, kadar yang lebih atas kebutuhan yang diperlukan oleh orang-orang tertentu merupakan fardhu kifayah, kewajiban yang gugur atas orang lain apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya." (Majmu al-Fatawa, juz 3, h. 328 -- 329).

Kemudian muncul persoalan bahwa kadar pengetahuan dan kemampuan manusia berbeda-beda, sebagian mereka mengetahuinya (alim) dan sebagian yang lain tidak mengetahuinya atau bodoh (jahil), dan ada pula tingkatan di antara keduannya. Oleh karena itu, kewajiban yang diperintahkan kepada setiap individu pun berbeda-beda pula. Pengetahuan yang wajib diketahui, keyakinan dan perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang alim (yang mengetahui) berbeda dengan yang diperintahkan kepada oran jahil (yang tidak mengetahui).

Para nabi sebagai orang-orang pilihan yang lebih mengetahui Allah Sang pencipta menganggung kewajiban yang tidak diwajibkan kepada manusia lain pada umumnya. Rasulullah saw umpaanya, beliau diwajibkan mendirikan salat malam, dan itu (salat malam) tidak diwajibkan kepada sahabat-sahabat beliau atau kaum muslimin sesudahnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Berdasarkan hal di atas, keyakinan yang diwajibkan kepada para ulama berbeda dengan keyakinan yang diperintahkan kepada masibng-masing individu umat ini pada umumnya. Demikian pula kewajiban yang diperintahkan kepada orang-orang yang hidup di lingkunganperkembangan ilmu dan keimanan (daar 'ilm wal iman) berbeda dengan kewajiban yang diperintahkan kepada orang-orang yang hidup di lingkungan kebodohan (daar jahl)." (Majmu al-Fatawa, juz 3, hh. 328).

Dengan demikian, tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk mengetahui semua khabar dn semua perintah yang terdapat di dalam Alquran dan sunnah, dan mengetahui seluruh maknanya. Inilah bentuk bentuk kemudahan dan toleransi Islam, sebagaimana Allah SWT menjelaskan di dalam firman-Nya, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Al-Baqarah: 185). Berdasarkan ayat ini, setiap perintah yang diwajibkan kepada mukallaf adalah perintah yang sesuai dengan kemampuannya, baik dalam tataran pengetahuan maupun praktik, sedangkan perintah yang di luar kemampuannya tidak menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan.

Maka, kewajiban yang harus dilaksanakan seorang muslim yang benar-benar memperhatikan keselamatannya di akhirat kelak adalah mencurahkan segala kemampuannya untuk mempelajari semua perintah Allah hingga ibadahnya benar, tidak terjebak kepada kejahilan dan menggantungkan harapan kepada Allah. Hal demikian disebabkan karena ibadah akan diterima jika telah memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan taat.

Ikhlas menuntut pengetahuan yang sempurna tentang Allah SWT dengan menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan dari semua tindakannya. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa pengetahuan yang benar tentang Allah, sebagaimana Dia berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (Fathir: 28).

Taat dalam konteks ini menuntut pengetahuan tentang petunjuk dan syariat yang diajarkan Rasulullah saw, hingga seorang hamba dapat mengikuti beliau, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21).

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Setiap mukmin hendaknya tidak berbicara mengenai apa pun dari masalah agama kecuali dengan mengikuti apa-apa yang tleah diajarkan oleh Rasulullah saw dan tidak melebih-lebihkannya, tetapi dengan sabda Rasulullah saw, dan perbuatannya sesuai dengan perintah beliau. Demikian yang dilakukan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari golongan tabi'in dan imam-imam kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun di antara merekayang bertentangan dengan nash-nash wahyu dan tidak pula mendirikan agama selain agama yang telah diajarkan Rasululah saw. Jika mereka hendak mengetahui sesuatu dari agama dan berbicara mengenai hal itu, mereka akan melihat firman Allah dan sabda Rasulullah, belajar darinya dan berbicara berdsarkan beritanya, berpikir dan berdalil berdasarkan padanya. Inilah pokok Ahlu Sunnah." (Al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, h. 85).

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah bahwa mencari ilmu tentang pokok-pokok agama sebagaiamana yang telah dijelaskan oleh para ulama adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu belajar, baik secara otodidak (belajar sendiri) maupun melalui orang-orang yang ahli di bidangnya, sebagaiamana firman Allah SWT menyebutkan, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai mengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43).

Menolak untuk mencari ilmu dan tetap dalam kebodohan tidak dapat dijadikan alasan meninggalkan ajaran agama bagi siapa pun. Ketika kebodohan merupakan kendala yang dapat dihilangkan dan bukan karakter dasar manusia yang tidak dapat dicegah, maka kebodohan tersebut tidak dapat dijadikan alasan secara mutlak, karena dapat dihilangkan dengan mencari ilmu. Oleh karena itu, banyak dari kalangan ulama yang berbicara tentang pembagian kebodohan dan bagian yang dapat dijadikan alasan dan yang tidak. Pandangan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, yang terpenting di antaranya ialah kebodohan yang dapat dicegah dan dihilangkan oleh mukallaf dengan cara mencari ilmu dan penjelasannya. Dari permasalahan ini, sebagian para ulama telah mengemukakan kriteria tentang kebodohan yang dapat dimaafkan dan yang tidak dapat dimaafkan. Hal itu dilakaukan sebagai upaya memelihara syariat dari penyelewengan dan pengrusakan.

Sumber: Al-Jahl bi Masail al-I'tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sumber: www.ALISLAM.or.id

Dampak Kebodohan dalam Masalah Tauhid Uluhiyah

Sesungguhnya tauhid rububiyah yang telah ditetapkan berdasarkan penciptaan tidaklah dianggap cukup hanya sampai di situ saja, tetapi Mereka harus mampu menjelaskan dalilnya. Dengan demikian, sudah semestinya tauhid tersebut disertai dengan adanya pengakuan akan tauhid uluhiyah yang mengesakan Allah dalam beribadah. Tauhid ini merupakan pengejawantahan dari makna "laa ilaaha illallahu" (tiada tuhan selain Allah), karena yang dimaksud dengan Tuhan di sini adalah Tuhan yang patut disembah karena rasa cinta, penyerahan diri, pengagungan, dan pemulian-Nya. Oleh karena itu, kalimat "laa ilaaha illallahu" merupakan puncak segala kebaikan, dan tauhid yang terkandung dalam kalimat "laa ilaaha illallahu" merupakan sumber sesuatu.

Tauhid uluhiyah ini merupakan hak Allah SWT yang menjadi kewajiban bagi setiap hamba-Nya. Mereka harus beribadah kepada-Nya den tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Mua'dz bin Jabal ra dari Nabi saw yang bersabda, "Apakah anda tahu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Muadz berkata, Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui," lalu Nabi saw bersabda, " Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apakah anda tahu apa hak hamba-hamba atas Allah seandainya mereka mengerjakan hal tersebut di atas? Muadz berkata, Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui," lalu Nabi saw bersabda, "Hak mereka adalah Allah tidak akan menyiksa mereka."

Berkenaan dengan tauhid ini, ada keharusan yang berkaitan dengan lahir dan batin yang terdiri dari beberapa perintah Allah yang diwajibkan kepada orang-orang yang beriman, yang mengesakan-Nya dalam bentuk beberapa kewajiban beribadah kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, yang memiliki sifat-sifat sempurna dan agung. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, "Katakanlah: 'Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang Yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang Yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu'." (Ali Imran: 26).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, "Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (An-Nahl: 53).

Allah SWT berfirman, "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu." (Al-An'aam: 17).

Allah SWT berfirman, "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yunus: 107).

Allah SWT berfirman, "Dan sungguh ketika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' niscaya mereka menjawab, 'Allah.' Katakanlah, 'Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan-kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberikan rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah, 'Cukuplah Allah bagiku.' Kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakkal." (Az-Zumar: 38).

Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki kekuasaan seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya." Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu?." (Saba': 22 -- 23).

"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (Al-Qashash: 88).

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Al-Bayyinah: 5).

Keterangan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas banyak sekali terdapat dalam Alquran, hadis dan ijma para ulama. Di mana menurut mereka bahwa masalah tauhid (uluhiyah) ini
merupakan ruh agama, sebagaimana dalam kenyataannya.

Dengan demikian, bagi orang mukmin yang bertauhid diwajibkan mengerjakan amal perbuatan yang berkaitan dengan hati dan anggota badan yang memanifestasikan hakikat tauhid kepada Allah Azza wa Jalla, dan yang memanifestasikan hakikat kehambaan dirinya, sehingga keagungan, ketinggian, dan kecintaan Tuhan (Allah) semakin nyata dalam dirinya, di mana dia akan selalu berharap akan karunia-Nya dan takut dari siksa-Nya, rela dan berserah diri kepada-Nya, taat kepada-Nya, dan melakukan amal (kebaikan) yang berkaitan dengan hati dan anggota badan secara bersamaan.

Di antara amal perbuatan hati yang sangat penting yang memresentasikan kesempurnaan tauhid ini adalah keridhaan. Berbagai macam keridhaan ini telah dijelaskan dalam surah Al-An'aam sebagai sebuah surah yang besar yang berkenaan dengan masalah tauhid. Dalam surah ini terkandung tiga macam keridhaan yang mencakup tauhid secara keseluruhan, yaitu:


  1. Ridha mengakui Allah sebagai Tuhan dengan tidak menyekutukan-Nya dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, "Katakanlah: 'Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu." (Al-'An'aam: 164).
  2. Ridha mengakui Allah SWT sebagai hakim dengan tidak menyekutukan-Nya dalam menjalankan syariat dan ketaatan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Maka, patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan terperinci?" (Al-'An'aam: 114).
  3. Ridha mengakui Allah SWT sebagai pelindung (penolong) dengan tidak menyekutukan-Nya dalam mencintai dan menjadikan-Nya sebagai penolong, sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Katakanlah: 'Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi'." (Al-An'aam: 14).

Oleh karena itu, Nabi saw bersabda, "Orang yang dapat merasakan (manisnya) keimanan adalah orang yang ridha mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad saw sebagai rasul." (HR Muslim).

Selanjutnya beliau bersabda, "Barangsiapa yang berkata ketika mendengar seruan Ilahi (adzan): 'Aku ridha mengakui Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul, niscaya dosa-dosanya mesti diampuni'." (HR Muslim).

Kewajiban lahiriyah yang mempresentasikan tauhid ini adalah keikhlasan dalam menaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Selain itu, dipresentasikan dengan ketaatan kepada Rasulullh saw dan kewajiban mengikuti ketentuan syariat. Inilah realisasi yang dituntut oleh dua kalimat syahadat: "Laa ilaaha illallahu, muhammadur rasuulullahi."

Di antara amal perbuatan hati yang setara dengan posisi ridha adalah posisi keyakinan dan keikhlasan. Kedua amal perbuatan hati ini merupakan amal perbuatan hati terbesar dan sumber keimanan yang sangat penting. Posisi keyakinan ini berada di antara dua posisi keimanan dan kemunafikan, dan posisi keikhlasan ini berada di antara dua posisi tauhid dan syirik--dalam konteks pembicaraan hati dan keyakinan (akan kebenaran), atau dalam konteks kehendak dan niat, dan dalam konteks amal perbuatan--di mana yang menjadi sumber dan puncaknya adalah pengakuan 'laa ilaaha illallahu'. Pengakuan tersebut tidak akan diterima, kecuali dengan menyatakannya dalam bentuk keyakinan dan keikhlasan.

Allah SWT membatalkan pengakuan orang-orang munafik yang menyatakan keimanan dan mengatakan kesaksian mereka, karena tidak adanya keyakinan dalam hati mereka. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul Allah.' Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta." (Al-Munafiqun: 1).

Demikian juga Allah SWT telah membatalkan prasangka ahli kitab dan orang-orang musyrik yang menyangka bahwa agama yang mereka anut itu adalah agama yang benar, karena tidak adanya keikhlasan dalam menerima kebenaran. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Alquran), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus." (Al-Bayyinah: 1 -- 3).

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).

Dengan menggunakan ukuran keyakinan dan keikhlasan ini, banyak sekali pengakuan orang-orang yang beribadah yang dibatalkan, dan banyak sekali orang-orang yang enggan beribadah yang mengalami kehancuran. Keyakinan, mengeluarkan setiap orang yang beribadah kepada Allah yang disertai dengan ibadah kepada selain-Nya, atau mengeluarkan orang yang beribadah kepada selain Allah yang disertai dengan ibadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih, "Allah Tabaaraka wa Tata'aala berfirman, 'Aku sangat kaya dari sekutu (tidak membutuhkan sekutu), maka orang yang melakukan amal perbuatan dengan menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, niscaya Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya'." (HR Muslim).

Dengan demikian, jelaslah bahwa yang menafikan (meniadakan) tauhid ini adalah menyekutukan Allah SWT. Perbuatan ini banyak sekali ditemukan dalam kehidupan manusia dewasa ini dengan sebab yang beraneka ragam. Sebab-sebab ini di antaranya sedikitnya orang-orang yang menyerukan agar mentauhidkan Allah SWT dalam melakukan ibadah dan ketaatan, keengganan manusia mengetahui hukum-hukum agama karena kesibukannya mengurusi urusan dunia dan mengikuti hawa nafsunya, dan merebaknya kebodohan ini di berbagai belahan dunia kaum muslimin, khususnya kebodohan dalam mengetahui agama yang benar. Jika bukan karena sebab-sebab tersebut, kesesatan dan perbuatan bidah yang tersebar, dan lembaga serta organisasi yang menciptakan, menjaga, dan menyebarkannya di kalangan kaum muslimin, niscaya akan diketahuinya.

Adapun sebab yang paling meresahkan kita semua adalah kebodohan yang menimpa manusia yang mendorongnya untuk bersikap ekstrem (berlebihan) dalam memahami hak Pencipta atas mereka, sehingga menjerumuskan mereka ke dalam berbagai penentangan yang menafikan (meniadakan) tauhid uluhiyah secara keseluruhan, atau menafikan sebagian rincian dari tauhid ini. Maka, sejauh mana batasan toleransi ini dapat diberikan berkenaan dengan kebodohan atas tauhid uluhiyah ini?

Ketentuan hukum dalam masalah ini mesti didasarkan kepada sejumlah kaidah sebagai berikut:


  1. Batasan yang jelas mengenai perbuatan yang dapat menafikan tauhid uluhiyah.
  2. Jika kita katakan bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kekufuran, dan dihukumi sebagai perbuatan yang tidak berhak mendapatkan siksaan, kecuali setelah sampainya dalil, sudah semestinya diadakan pembatasan mengenai sampainya dalil dalam masalah ini, sehingga kita dapat memberlakukan kaidah tersebut dalam kehidupan nyata.
  3. Batasan mengenai sesuatu yang dapat dimaafkan dan sesuatu yang tidak dapat dimaafkan.

Sumber: Al-Jahl bi Masaailil I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdurrozzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Dampak Kebodohan dalam Tauhid Al-Asmaa' was Shifaat (Mengesakan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah)

Berkenaan dengan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat, "Yang paling pokok dalam masalah ini adalah mensifati Allah SWT dengan sifat yang telah ditetapkan-Nya untuk Dzat-Nya dan dengan sifat yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, baik sifat nafi (sifat yang menolak hal-hal yang tidak layak bagi Allah) maupun sifat itsbat (sifat yang menetapkan hal-hal yang pantas bagi Allah), di mana Allah telah menetapkan sifat yang pantas bagi Dzat-Nya dan menafikan sifat yang tidak pantas bagi Dzat-Nya.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa cara yang ditempuh oleh ulama Salaf dan para imam dalam masalah ini adalah menetapkan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa mempermasalahkan, menyerupakan, menyimpangkan, dan mengabaikannya. Demikian juga, mereka menafikan sesuatu yang telah dinafikan Allah dari Dzat-Nya disertai dengan menetapkan sifat-sifat-Nya tanpa menunjukkan pengingkaran, baik terhadap nama-nama-Nya maupun terhadap ayat-ayat-Nya. Karena itulah maka Allah mencela orang-orang yang mengingkari nama-nama-Nya dan ayat-ayat-Nya. Sebagaimana hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya, "Hanya milik Allah al-Asmaa' al-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan (perantara) menyebut al-Asmaa' al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raaf: 180)

Orang yang menyimpangkan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dari hakikat dan pengertian yang sebenarnya, maka orang tersebut telah terjerumus kepada sikap pengingkaran. Adapun pengingkaran terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:


  1. Menamai berhala dengan nama-nama Allah, seperti memberi nama Lata yang diambil dari kata Al-Ilaah, nama al-Uzza diambil dari kata Al-'Aziz dan nama Manat diambil dari kata Al-Mannan.
  2. Menyebut Allah SWT dengan sebutan yang tidak layak bagi-Nya, seperti sebutan yang diberikan oleh kaum Nasrani yang menyebut Allah dengan sebutan "bapak" dan sebutan para filosof yang menyebut Allah dengan sebutan "sebab positif".
  3. Menyifati Allah SWT dengan sifat kekurangan yang tidak pantas bagi-Nya, seperti perkataan orang-orang Yahudi yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya." (Ali Imran: 181), dan perkataan mereka yang mengatakan, "Tangan Allah terbelenggu." ( Al-Maidah: 64), serta perkataan mereka yang mengatakan bahwa Allah SWT beristirahat pada hari sabtu.
  4. Mengingkari makna dan hakikat nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, seperti yang dikatakan kelompok Jahmiyyah yang mengatakan bahwa nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya itu hanya merupakan lafadz semata tidak mengandung sifat dan makna. Maka, lafal "as-Sami' " tidak menunjukkan pada pendengaran, lafal "al-Bashir" tidak menunjukkan kepada penglihatan, lafal "al-Hayyu" tidak menunjukkan kepada kehidupan, dan lain-lain.
  5. Menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya seperti perkataan yang disampaikan oleh orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya yang mengatakan bahwa "tangan Allah itu seperti tanganku" dan lain sebagainya. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari prasangka yang keliru.

Allah SWT telah mengancam orang-orang yang mengingkari nama-nama dan ayat-ayat-Nya dengan ancaman yang berat, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya, "Hanya milik Allah al-Asma' al-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan (perantara) menyebut al-Asma' al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raaf: 180). Dalam ayat yang lain Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami." (Fushshilat: 40)

Akan tetapi, hukuman pengingkaran antara masing-masing orang berbeda antara satu sama lainnya. Maka hukuman orang yang mengingkari yang dihukumi sebagai orang kafir dan ingkar, tidak akan sama dengan hukuman orang yang mengingkari karena kebodohan (ketidaktahuan) atau karena kekeliruan dalam penafsiran, di mana dia masih dihukumi sebagai orang yang beriman dan dianggap sebagai orang yang tidak bertujuan melakukan pengingkaran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Katsir -rahimahullahu- dalam menafsirkan firman Allah SWT, "Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air mani, maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah, "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk." (Yasin: 77 - 79). Sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Ubay bin Khalaf. Selanjutnya, Ibnu Katsir berkata, "Mujahid, 'Ikrimah, 'Urwah bin az-Zubair, as-Sudi dan Qatadah berkata, 'Ubay bin Khalaf -la'natullahi 'alaihi- datang kepada Rasulullah saw, sambil menggenggam tulang yang sudah rapuh, lalu dia meremukkannya dan menaburkannya ke udara, seraya dia berkata, "Wahai Muhammad, apakah kamu mengira bahwa Allah akan membangkitkan tulang yang sudah remuk ini? Lalu Rasulullah saw menjawab, "Benar, Allah akan mematikan dan membangkitkanmu, dan Dia akan melemparkanmu ke dalam neraka."

Kisah yang dikutip dari tafsir Ibnu Katsir di atas berbeda dengan kisah yang terdapat dalam hadis Nabi saw. Di mana dalam hadis tersebut dikisahkan, ada seorang laki-laki yang berwasiat kepada keluarganya agar ketika ia meninggal nanti, ia dibakar dan abunya ditaburkannya ke udara. Karena, ia menganggap bahwa dengan cara itu Allah SWT tidak akan mampu mengumpulkan abu mayatnya dan menghidupkannya kembali. Sehingga dalam hadis tersebut dijelaskan, akhirnya orang tersebut diampuni karena ketakutannya akan siksa Allah SWT. Sebab, ia adalah orang yang bodoh, tapi mukmin, sehingga diampuni dosa-dosanya. Sementara, kisah di atas (Ubay bin Khalaf) dimasukkan ke neraka karena ia kafir dan ingkar kepada Allah. Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara orang yang bodoh atau keliru dalam memberikan penafsiran yang belum sampai kepadanya dalil sehingga dia meninggalkannya dengan orang yang benar-benar menentang dan mengingkarinya.

Atas dasar ini pula, maka jelaslah perbedaan antara para imam Ahli Sunnah dengan golongan orang-orang yang sesat dalam memahami masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT. Kesesatan itu terjadi dikarenakan adanya kesamaran dalam memahaminya dan dikarenakan tidak didasarkan kepada dalil yang benar, tetapi hanya mengandalkan bayang-bayang akal semata. Kekeliruan yang sangat fatal adalah adanya personifikasi yang selalu mereka kumandangkan secara berlebihan dalam menyucikan nama Allah SWT tanpa mengikuti cara yang dipakai oleh Alquran dan Sunnah.

Ketidaktahuan dalam masalah ini merupakan sesuatu yang masih dapat dimaafkan. Demikian juga halnya dengan kekeliruan dan kesalahan dalam memberikan penafsiran. Seandainya hal tersebut tidak dapat dimaafkan, tentu apa yang dilakukan oleh para mutakallimin (teolog) yang menafsirkan nash-nash yang menjelaskan sifat-sifat Allah dihukumi sebagai kekufuran. Di mana mereka membawa nash-nash tersebut kepada pemahaman yang majazi/kiasan (bukan arti yang sebenarnya), dan menganggap hal itu bukan merupakan sesuatu yang tetap bagi Allah dalam pengertian yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan prasangka mereka yang mendorong mereka untuk menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, maka penolakan mereka terhadap nash-nash yang berkaitan dengan masalah sifat-sifat Allah ini didasarkan kepada keinginan untuk menyucikan Allah SWT dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya, menurut prasangka mereka. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya, mereka tidak bermaksud menolak atau mengingkari nash-nash tersebut dengan maksud ingin mendustakannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Imam Ahmad ra menaruh belas kasihan kepada mereka (yakni, aliran Jahmiyyah) dan memaafkan mereka. Karena, menurut pandangan beliau bahwa mereka itu tidak mendustakan Rasulullah saw dan tidak mengingkari risalah (ajaran) yang dibawanya. Akan tetapi, mereka keliru dalam memberikan penafsiran dan mereka mengikuti pendapat orang yang mengatakan hal itu kepada mereka."

Selanjutnya, beliau berkata, "Menurut pendapatku bahwa aliran Jahmiyyah ini termasuk aliran yang menganut ajaran al-Hulul (keyakinan bahwa Tuhan itu dapat menitis ke dalam makhluk), dan yang menolak pandangan orang-orang yang menafikan bahwa Allah itu berada di atas 'Arasy(singgasana). Sehingga ketika malapetaka menimpa mereka, dikatakan, "Seandainya aku menyetujui pendapat kalian, maka aku termasuk orang kafir. Karena, aku mengetahui bahwa perkataan kalian itu termasuk perkataan kufur. Sementara, menurut pandanganku, kalian itu tidak kafir, karena kalian itu termasuk orang-orang bodoh." Perkataan ini ditujukan kepada para ulama, para hakim, para guru, dan para pemimpin mereka, Kebodohan mereka itu bersumber dari kekeliruan berfikir para pemimpin mereka dalam memahami dalil naqli yang shahih dan dalil akli yang tepat.

Hukum Ketidaktahuan terhadap Sebagian Nama-nama dan Sifat-sifat Allah serta Dalil-dalilnya

Masalah ketidaktahuan terhadap sebagian nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya ini termasuk masalah yang dapat ditolelir, yang oleh para ulama disamakan dengan masalah ketidaktahuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan tauhid. Sehingga seseorang yang menentang atau mengingkarinya karena kesalahan dalam memahaminya tidak dihukumi sebagai orang kafir, kecuali apabila telah sampai kepadanya dalil yang mengafirkan orang yang mengingkarinya. Karena, nama-nama Allah SWT dan sifat-sifat-Nya itu termasuk masalah akidah yang mesti didasarkan kepada nash syar'i, dan tidak bisa ditetapkan berdasarkan akal, pendapat, perasaan, dan lain sebagainya. Benar, bahwa akal itu dapat menemukan hal-hal yang bersifat fitrah, akan tetapi akal harus tunduk kepada dalil naqli yang shahih.

Imam Syafi'i ra berkata, "Allah itu memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menentangnya, sehingga orang yang menentangnya setelah disampaikan kepadanya dalil yang menjelaskannya dihukumi sebagai orang kafir. Adapun orang yang menentangnya sebelum disampaikan kepadanya dalil yang menjelaskannya dihukumi sebagai orang kafir. Adapun orang yang menentangnya sebelum disampaikan kepadanya dalil yang menjelaskannya, maka ia dapat ditolelir karena ketidaktahuannya. Karena pengetahuan tentang hal itu tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal, rasio, dan pikiran. Maka kita hanya menetapkan sifat-sifat ini dan menolak adanya penyerupaan, sebagaimana Allah telah menolak penyerupaan tersebut dari Dzat-Nya dalam firman-Nya, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (As-Syuura: 11)

Imam an-Nawawi ra berkata, "Al-Qadhi (Abu Thayyib) berkata, 'Di antara imam yang mengafirkan hal itu (tidak mengetahui sifat-sifat Allah) adalah Ibnu Jarir at-Thabari, dan pendapat ini pertama sekali dikemukakan oleh Abu Hasan al-Asy'ari'." Sedangkan yang lainnya berpendapat, "Tidak kafir seseorang yang tidak mengetahui sifat Allah, dan tidak dianggap sebagai orang yang keluar dari sebutan mu'min, berbeda dengan orang yang mengingkarinya. Abu Hasan al-Asy'ari menarik kembali pendapatnya dan beliau menetapkan pendapatnya seperti pendapat ini. Beliau menganggap bahwa keyakinannya tentang hal itu bukanlah merupakan suatu keyakinan yang dijamin kebenarannya, dan beliau memandangnya sebagai masalah agama dan syara'. Oleh karena itu, beliau mengafirkan orang yang berkeyakinan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu pasti benar. Mereka (para imam yang lainnya) berkata, "Seandainya orang-orang itu ditanya tentang sifat-sifat Allah, maka sedikit sekali orang yang mengetahuinya."

Ibnu Qutaibah ra berkata, "Sebagian kaum muslimin terkadang keliru dalam memahami sebagian sifat-sifat Allah dan hal itu tidak menyebabkan mereka dihukumi sebagai orang kafir."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Sebagian kelompok mutakallimin (theolog) berpendapat: 'Sesungguhnya sifat-sifat yang ditetapkan berdasarkan akal merupakan sifat yang wajib diakui sebagai sifat yang ditetapkan oleh akal, dan orang yang menolaknya dianggap kafir. Berbeda sekali dengan sifat yang ditetapkan berdasarkan pendengaran, di mana mereka terkadang menafikannya dan terkadang menafsirkannya atau menyerahkan maknanya, dan terkadang pula menetapkannya. Mereka menetapkan hukuman iman dan kufur itu dalam kaitannya dengan sifat-sifat yang ditetapkan berdasarkan akal fikiran. Padahal, hal ini tidak ada sumbernya yang berasal dari ulama Salaf dan para imam, karena keimanan dan kekufuran itu merupakan hukuman yang harus ditetapkan berdasarkan risalah (agama), dan mesti ditetapkan berdasarkan dalil-dalil syara' yang sudah jelas membedakan antara orang mukmin dan orang kafir dan tidak boleh didasarkan kepada dalil akli semata-mata."

Imam Ibnu Hazm ra berkata, "Orang tersebut tidak mengerti tentang kematian, di mana Allah SWT Maha Kuasa untuk mengumpulkan debu mayatnya dan menghidupkannya kembali. Oleh karena itu, maka dia diampuni karena pengakuan, ketakutan, dan ketidaktahuannya."

Bertitik tolak dari keterangan tersebut di atas, maka kita dapat membuat suatu batasan -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita- seputar perbuatan yang dapat dan tidak dapat ditolelir karena ketidaktahuan yang berkaitan dengan masalah tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah dan tauhid Asma' was Shifaat berdasarkan keterangan yang bersumber dari dalil-dalil syara', pendapat para imam, dan pendapat para ulama. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa kebodohan (ketidaktahuan) itu terkadang pada suatu waktu dapat ditolelir, tetapi pada waktu yang lain terkadang tidak dapat ditolelir. Hal yang pertama kali harus dilihat adalah keadaan orang itu sendiri, dan yang kedua harus dilihat tentang masalah-masalah yang tidak diketahuinya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.

Sumber: Al-Jahlu bi Masaailil I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sumber: www.ALISLAM.or.id

Syirik dan Fenomenanya

Ketika seluruh ibadah itu hanya diperuntukkan bagi Allah SWT semata dan menolak ibadah yang diperuntukkan kepada selain Allah SWT, maka inilah ajaran tauhid yang sebenarnya yang dibawa oleh para rasul, dari mulai Adam as sampai kepada Muhammad saw. Sedangkan lawannya adalah menyekutukan Allah SWT, yaitu memperuntukkan segala ibadah kepada selain Allah SWT di samping kepada Allah, atau diperuntukkan hanya kepada selain Allah SWT. Inilah perbuatan syirik yang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang musyrik, yang menimbulkan pertentangan antara seluruh rasul dengan umatnya.

Syirik kepada Allah SWT itu dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, syirik besar. Yaitu, syirik yang dapat menafikan (meniadakan ketauhidan secara menyeluruh, yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam (murtad), dan mewajibkan pelakunya kekal di dalam neraka, apabila dia mati dalam keadaan syirik, karena Allah SWT tidak akan mengampuninya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar." (An-Nisaa': 48).

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisaa': 116).

"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam,' padahal al-Masih (sendiri) berkata: 'Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu satu penolong pun." (Al-Maidah: 72). Dan, firman-firman Allah dalam ayat yang lain.

Dari Ibnu Mas'ud r.a. seraya berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang mati dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu, niscaya ia akan dimasukkan ke dalam neraka." Dan aku (Ibnu Mas'ud) berkata, "Orang yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, niscaya dia akan dimasukkan ke dalam surga." (HR Bukhari).

Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, "Seseorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah saw., apa yang dimaksud dengan dua hal yang pasti dipenuhi?' Kemudian, Rasulullah saw. Bersabda, "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, niscaya dia masuk surga. Dan barangsiapa mati dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu, niscaya dia masuk neraka." (HR Muslim).

Selain hadis tersebut di atas masih banyak hadis-hadis dan keterangan lainnya yang mengandung peringatan Rasulullah saw. kepada umatnya tentang syirik dan beberapa perantaranya. Rasulullah saw. melarang seseorang untuk melakukan tindakan yang berlebihan dalam mengagungkan makhluk, menjadikan kuburan sebagai masjid dan tempat berkunjung (ziyarah), dan beliau melarang membuat bangunan di atas kuburan, menyalakan lampu di atasnya, serta beliau pun menjelaskan tentang ziarah kubur yang disyariatkan sebagaimana beliau pun telah menjelaskan tawassul (membuat perantara) yang disyariatkan, dan menjelaskan pula tawassul yang bid'ah (diada-adakan) dan beliau pun melarangnya.

Di bawah ini akan dikemukakan sejumlah hadis Nabi saw. yang melarang perbuatan syirik dan wasilah-wasilahnya:


  1. Dari Umar r.a., Rasulullah saw. telah bersabda, "Janganlah kalian menyanjungku seperti menyanjungnya orang-orang Nasrani kepada putra Maryam (Nabi Isa a.s.), karena aku ini hanya seorang hamba, maka katakanlah, 'Hamba Allah dan rasul-Nya'."
  2. Dari Anas r.a. bahwa orang-orang telah berkata, "Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kita dan putra terbaik di antara kita, dan wahai tuan kami dan putra tuan kami, maka Rasulullah saw. Bersabda, "Wahai manusia, katakanlah olehmu dengan perkataan atau dengan sebagian perkataanmu, dan janganlah kalian diperdaya oleh setan. Aku ini adalah Muhammad, seorang hamba Allah dan Rasul-Nya dan aku tidak senang kalian mengagungkanku melebihi kedudukanku, yaitu kedudukan yang telah diberikan oleh Allah Azza wa Jalla." (HR Ahmad, Nasa'i dan Ibnu Hibban).
  3. Dari Aisyah r.a. bahwa Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah saw. tentang sebuah gereja yang dilihatnya di negeri Habsyi yang diberi nama "Maria", lalu dia pun menceritakan tentang gambar yang dilihatnya yang ada di dalamnya. Kemudian, Rasulullah saw. bersabda, "Mereka itu adalah kaum yang apabila ada seorang hamba atau seorang lelaki yang saleh meninggal dari kalangan mereka, maka mereka akan membangun sebuah masjid di atas kuburannya dan mereka akan melukisnya di dalam masjid tersebut. Mereka itu adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah SWT." (HR Bukhari).
  4. Dari 'Aisyah r.a. berkata, "Ketika ayat Alquran diturunkan kepada Rasulullah saw., beliau menutupi mukanya dengan telapak tangannya, apabila tidak jelas, maka beliau membuka mukanya, lalu beliau bersabda sebagai berikut: "Laknat Allah bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani, di mana mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabinya sebagai masjid." (HR Bukhari). Dalam hal ini beliau mengingatkan apa yang telah diperbuat oleh mereka.
  5. Dari Abi Martsad al-Ghanawi r.a. berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, "Janganlah kamu melakukan salat sambil menghadap ke kuburan dan janganlah kamu duduk di atasnya." (HR Muslim).
  6. Dari Jabir r.a. berkata, "Nabi saw. melarang menangisi kuburan, mendudukinya, dan mendirikan bangunan di atasnya." (HR Muslim). Dan hadis-hadis yang lain.

Kedua, syirik kecil. Syirik yang ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama, tetapi dapat mengurangi pahala, dan terkadang dapat menghapuskan pahala amal kebaikan, seperti perbuatan riya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Sesuatu yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik kecil," para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu? Beliau menjawab, "Riya'." Demikian juga halnya dengan sumpah atas nama selain Allah, sumpah dengan menyebut bapak-bapaknya, ibu-ibunya, anak-anaknya, atau sumpah dengan atas nama kepercayaan, dan lain-lain. Dari Abdullah bin Amar r.a., Rasulullah saw. telah bersabda, "Aku bertemu dengan Umar bin Khaththab yang bermaksud menaiki binatang tunggangannya sambil bersumpah dengan menyebut nama bapaknya, lalu Rasulullah saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan menyebut bapak-bapakmu. Barangsiapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahklah dengan menyebut nama Allah atau diam sama sekali." (HR Bukhari).

Meskipun peringatan yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi saw. itu sangat keras, tetapi banyak sekali kaum muslimin yang melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dan nabi-Nya. Dalam kenyataannya, banyak kaum muslimin yang banyak melakukan berbagai macam perbuatan syirik, sehingga kemusyrikan dan bid'ah
sedemikian rupa dilakukan secara teratur seakan-akan hal tersebut merupakan perbuatan yang bersumber dari agama. Padahal, memperlihatkan ketauhidan dan kemurnian beragama itu hanya kepada Allah yang merupakan sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah, dan Rasul-Nya telah menjelaskannya sebagai sesuatu yang asing (mengada-ada). Orang yang berpegang teguh terhadap perintah tersebut dengan mencegah kemusyrikan dan perbuatan bid'ah, maka dia akan berhadapan dengan orang-orang bodoh dan orang-orang musyrik?dan tidak ada daya dan kekuatan selain atas pertolongan Allah?di mana mereka (orang-orang bodoh dan orang-orang musyrik) ini merupakan orang-orang yang menyebarkan kebencian kepada orang-orang yang saleh dan berpaling dari agama yang benar. Dengan demikian, kemungkaran di hadapan orang-orang yang sesat dianggap sebagai perbuatan baik, dan perbuatan yang baik dianggap sebagai perbuatan mungkar. Tidak ada daya dan kekuatan selain atas pertolongan Allah SWT.

Di antara perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat yang dilakukan oleh umat dewasa ini di antaranya:

1. Mohon dikabulkan doanya dan meminta syafaat dari Rasulullah saw. ketika berada di makamnya.

Syekh Ibnu Taimiyyah berkata, "Di antara manusia itu ada yang menafsirkan firman Allah SWT, 'Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.' (An-Nisaa': 64). Mereka menafsirkannya, 'Jika kami memohonkan ampun dari Rasul-Nya setelah kematiannya, maka kami bagaikan orang-orang yang memohonkan ampun dari sahabatnya.' Padahal, dengan melakukan hal tersebut mereka telah bertentangan dengan ketentuan yang didasarkan kepada kesepakatan para sahabat, tabi'in, dan segenap kaum muslimin. Karena, tidak seorang pun dari mereka yang memohonkan pertolongan kepada Nabi saw. setelah beliau meninggal, dan meminta sesuatu darinya. Demikian juga, tidak ada seorang pun dari imam-imam kaum muslimin yang menjelaskan hal tersebut dalam kitab-kitabnya, yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan perintah para malaikat, para nabi, dan orang-orang saleh, yang apabila mereka meninggal dianjurkan untuk mengajukan permohonan di atas kuburan dan tempat mereka. Memohon kepada patung-patung merupakan jenis kemusyrikan yang sangat besar yang dilakukan oleh kaum musyrikin selain ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan dalam bid'ah yang dilakukan oleh Ahli Kitab dan kaum muslimin yang melakukan kemusyrikan dan ibadah kepada selain Allah, merupakan perbuatan yang tidak diperintahkan oleh Allah."

2. Mengistimewakan berdoa dan beribadah di makam para nabi.

Orang yang melakukan perbuatan tersebut menyakini bahwa berdoa di kuburan para nabi itu pasti akan dikabulkan, atau beranggapan ahwa berdoa di kuburan para nabi itu lebih utama dibandingkan dengan berdoa di masjid-masjid dan di rumah-rumah, dan salat yang dilakukan di kuburan para nabi pasti akan diterima. Padahal, perbuatan tersebut termasuk kemungkaran dan bid'ah menurut kesepakatan para imam muslimin, dan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang diharamkan (dilarang).

3. Meminyaki makam dan menciumnya.

Syekh Ibnu Taimiyyah r.a. berkata, "Para ulama salaf telah sepakat bahwa tidak boleh memohon keselamatan dari kuburan para nabi, dan tidak dianggap baik melakukan salat di sisinya, dan tidak boleh memohon dikabulkan doa kepadanya. Karena, perbuatan tersebut termasuk dari sebab-sebab yang membawa kepada kemusyrikan dan sama dengan beribadah kepada berhala. Sebagaimana Allah SWT berfirman, 'Dan mereka berkata: 'Dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwa' yaghuts, ya'uq, dan nashr.' (Nuh: 23). Sekelompok ulama salaf berpendapat, mereka itu adalah sekelompok orang saleh dari kaum Nuh a.s., yaitu ketika mereka meninggal, maka orang-orang beritikaf di atas kuburannya, lalu mereka membentuk patung-patungnya yang kemudian menyembahnya."

4. Memohon keberkahan dari orang-orang saleh dan mengagungkan mereka secara berlebih-lebihan.

Perbuatan tersebut ditunjukkan dengan mencium sesuatu yang berkaitan dengan orang-orang saleh, baik mencium badannya, pakaiannya, benda peninggalannya, mengagungkan kuburannya setelah meninggalnya dengan cara itikaf di atas kuburannya, melakukan salat di sisinya, berdoa di hadapannya, bersusah payah mengunjunginya, mengelilinginya, menyalakan lampu di atasnya, meminyakinya dan menciumnya. Perbuatan yang paling tercela dari sekian perbuatan itu adalah meminta untuk dikabulkan doa kepada mereka, padahal mereka telah meninggal, dan
memohon pertolongan dan dicukupi segala kebutuhan kepada mereka, seluruh perbuatan tersebut termasuk perbuatan munkar yang keji.

5. Memohon keberkahan kepada pohon, batu, dan benda-benda lainnya.

Perbuatan tersebut dilakukan, baik dengan cara beritikaf, melakukan ibadah di sisinya, atau mengalungkan sobekan kain kepadanya. Semua perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang muslim, karena perbuatan tersebut bersumber dari ajaran agama orang-orang musyrik dan bukan bersumber dari ajaran agama Islam. Syekh Ibnu Taimiyyah berkata, "Adapun pohon, batu, mata air, dan lain-lain termasuk sesuatu yang ditakuti oleh sebagian orang-orang awam, sehingga mereka biasa mengalungkan sobekan kain dan lain sebagainya. Maka, perbuatan tersebut termasuk perbuatan munkar dan bid'ah yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, dan sebagai perbuatan menyekutukan Allah SWT." (Biko).

Sumber: Al-Jahl bi Masailil I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Ketentuan Mengafirkan Orang yang Melakukan Kemusyrikan

Tidak diragukan lagi bahwa banyak umat Islam, khususnya orang-orang awam, melakukan kemusyrikan, sehingga masing-masing memiliki tingkatan keislaman dan keimanan tertentu. Hal itu didasarkan bahwa agama Islam telah menetapkan seseorang sebagai muslim dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, yang diucapkan dengan penuh keyakinan, dan adanya ketundukan yang disertai dengan tidak adanya penentangan terhadap keduanya, dengan suatu penentangan yang diperhitungkan menurut syara.

Dengan demikian, perlu adanya suatu ketetapan yang tegas dalam menetapkan hukuman terhadap seorang muslim mengenai batasan musyrik atau kafir, yang ketika menetapkan hukum tersebut diperlukan adanya penjelasan yang gamblang dan dalil yang pasti, mengingat orang yang melakukan kekufuran atau kemusyrikan itu tidak dapat ditetapkan secara pasti bahwa dia itu sebagai orang kafir atau orang musyrik, jika dia masih tetap memegang keislamannya, kecuali apabila telah memenuhi beberapa persyaratan dan tidak adanya hal-hal yang menghalangi untuk ditetapkannya hukuman tersebut. Karena itu, penetapan batasan pengafiran kepada seseorang karena melakukan kemusyrikan dipandang sangat penting sebelum diadakan pendalaman mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan orang-orang bodoh dan berbagai macam kemusyrikan yang dianggap samar bagi mereka.


  1. Jika seorang muslim melakukan perbuatan syirik yang dapat membatalkan dasar ketauhidan, pokok agama, atau perjanjian yang bersifat umum, seperti dia meyakini kelayakan melakukan ibadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya, atau melakukan ibadah kepada selain Allah, atau dia meyakini bahwa manfaat atau mudharat itu berasal dari kekuasaan selain kekuasaan Allah, atau berkeyakinan bahwa selain Allah turut serta dalam mengatur alam ini, dia dihukumi sebagai orang yang melakukan kekufuran atau kemusyrikan kepada Allah SWT secara mendasar. Karena, keyakinan semacam ini telah menghilangkan salah satu persyaratan dalam pengucapan dua kalimat syahadat, yaitu tidak adanya sesuatu penghalang untuk ditetapkannya hukum tersebut yang dapat dipertimbangkan menurut syara'. Karena, ikrar (pengakuan) yang mengandung nilai ketauhidan itu menuntut adanya pembebasan diri secara total dari ibadah kepada selain Allah. Maka, bagaimana mungkin dia dapat membebaskan dirinya dari kemusyrikan secara total, sementara dia memiliki keyakinan seperti keyakinan tersebut di atas.

    Selanjutnya, bahwa keyakinan akan adanya sesuatu yang patut disembah selain Allah, disamping memiliki keyakinan bahwa Allah Tuhan yang patut disembah, termasuk sesuatu yang tidak boleh dianggap sepele oleh manusia, baik karena ketidaktahuannya, kesamaran, atau karena yang lainnya, yang dianggap bertentangan dengan dasar ketauhidan. Karena itu, tidak mungkin berasumsi adanya seorang muslim yang melakukan kemusyrikan di atas karena ketidaktahuannya tentang masalah tersebut. Oleh karena itu, tidak mungkin menganggap perbuatan itu dilakukan karena ketidaktahuannya, sehingga patut diberikan toleransi, padahal dia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dasar ketauhidan dan dilakukan dengan penuh keyakinan.

    Adapun sebagaian perbuatan syirik yang lainnya yang termasuk kepada rincian dari perbuatan syirik yang mesti dihindari oleh seorang muslim. Akan tetapi, kemudian dia melakukannya karena beberapa sebab: yang terpenting adalah ketidaktahuannya, kesamaran, kekeliruan yang dilakukan oleh ulama yang sesat, dan kurangnya ilmu yang bersumber dari Nabi saw. Jika demikian, hal itu harus diperbaiki dan dibetulkan.

    Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka ketika para ulama membatasi ketentuan pemberian maaf yang disebabkan adanya kesamaran, sudah semestinya untuk membatasi pengertian kesamaran itu sendiri, yaitu kesamaran yang tidak berkaitan dengan masalah pokok agama (ketauhidan). Yakni, melakukan ibadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Karena itulah, maka mendekatkan diri kepada para wali dan orang-orang yang saleh bukanlah termasuk kesamaran yang dapat dimaafkan. Karena, mereka menganggap adanya sesuatu yang patut disembah selain Allah. Sedangkan kesamaran lainnya dapat dimaafkan, yaitu kesamaran yang mengandung ketentuan yang dapat menjadikan kesamaran tersebut sebagai bagian dari kesamaran yang dapat dimaafkan.

    Syekh Abdul Lathif bin Abdur Rahman menjelaskan tentang pentingnya mentauhidkan Allah dalam beribadah, dan dia tidak memaafkan kesamaran yang terjadi di dalamnya, "Seandainya seseorang tidak menemukan dalil selain dalil yang telah ditetapkan oleh orang yang menyembah para wali dan orang-orang saleh yang berhubungan dengan masalah ketuhanan, keesaan, penciptaan, dan pengaturan Allah SWT, maka hal itu sudah cukup sebagai dalil untuk membatalkan kesamaran, yang dapat membuka kesamaran tersebut sebagai suatu perbuatan munkar bagi orang yang berpaling dari-Nya dan tidak mengamalkan tuntutan-Nya untuk melakukan ibadah kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya. Oleh karena itu, orang-orang Arab jahiliyah dihukumi sebagai orang-orang musyrik karena telah jelasnya dalil-dalil dan bukti-bukti yang menjelaskan kesamarannya. Pada umumnya setiap orang musyrik akan mengemukakan kesamaran yang mendorongnya kepada kekufuran dan kemusyrikannya. Allah SWT berfirman, "Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidakmempersekutukan-Nya'." (Al-An'am: 148). Allah SWT berfirman, "Dan berkatalah orang-orang musyrik: 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia'." (An-Nahl: 35). Kesamaran yang mereka kemukakan adalah kesamaran yang dikaitkan dengan takdir, sehingga mereka mengembalikan urusan dan kemampuannya yang bersifat alami kepada kehendak Allah SWT. Kesamaran mereka yang demikian tidak dapat dimaafkan dalam kaitannya dengan perbuatan syirik dalam beribadah kepada Allah SWT.

    Oleh karena itu, orang-orang yang melaksanakan ibadah kepada selain Allah yang disertai dengan keyakinan bolehnya melaksanakan ibadah kepada selain-Nya, dengan gambaran apa yang dilakukannya adalah suatu ibadah bukan yang lain sebagaimana yang diyakini orang-orang bodoh yang menyebutnya dengan sebutan selain ibadah, seperti sebutan mengagungkan, mencintai, atau mengharagai, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut bukanlah termasuk orang Islam, dan perbuatnnya itu tidak dapat dimaafkan. Walaupun dia beralasan dengan ketidaktahuan atau alasan lainnya yang dapat dimaafkan. Karena, dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan kafir telah sampai kepadanya dengan diikrarkannya dua kalimat syahadat.

  2. Mengetahui bahwa syirik itu dapat menghapus segala ketauhidan dari segala sisinya, tetapi kemudian dia memuji dan menganggapnya sebagai kebaikan.

    Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu berkata, "Ketahuilah bahwa aku akan memberitahukan tentang empat perkara, di mana yang ketiganya adalah ditetapkannya hukuman kafir bagi orang yang sudah jelas baginya bahwa tauhid itu merupakan ajaran agama Allah dan Rasul-Nya, lalu dia membencinya dan memalingkan manusia darinya, dan menentang orang yang membenarkan kerasulan, dan orang yang mengetahui kemusyrikan dan mengingkari kerasulan Rasulullah saw., dan dia melakukan perbuatan tersebut siang dan malam, bahkan dia memujinya dan memperkenalkannya kepada manusia sebagai kebaikan, dan menganggap orang yang melakukannya tidak bersalah, karena mereka termasuk kelompok terbesar. Adapun sesuatu yang telah didesas-desuskan oleh para musuh tentang pendapatku yang mengatakan bahwa aku menghukumi kafir berdasarkan prasangka dan mengafirkan orang yang menolong orang kafir, atau mengafirkan orang bodoh yang tidak mengetahui dalilnya, itu merupakan kebohongan yang sangat besar, di mana mereka bertujuan untuk memalingkan manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya." Selanjutnya, beliau berkata, "Akan tetapi, kami menghukumi kafir orang yang meyakini kebenaran agama Allah dan Rasul-Nya, tetapi kemudian dia menentangnya dan memalingkan manusia darinya. Demikian juga, kami menghukumi kafir orang yang menyembah berhala setelah dia mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan ajaran agama orang-orang musyrik, dan dia memperkenalkannya kepada manusia sebagai perbuatan baik."

  3. Berketetapan hati untuk menentangnya walaupun sudah sangat jelas dalilnya.

    Jika seseorang melakukan perbuatan syirik karena kebodohan (ketidaktahuannya) atau karena kesamaran, lalu dia diingatkan bahwa perbuatannya itu salah dan termasuk perbuatan syirik atau kufur, sehingga dia mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat menghapus ketauhidan, dan orang yang memberitahukannya itu adalah seorang ulama atau seorang da'i yang konsisten dalam mengamalkan ilmu dan akidahnya, dengan menunjukkan dalil yang menunjukkan kesalahan dari perbuatannya, dia dihukumi sebagai orang kafir. Sebagaimana Syekh Abdul Lathif bin Abdur Rahman berkata, "Pemberitahuan yang dilakukan oleh seorang ulama kepada orang-orang bodoh tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang memperkokoh bangunan Islam, pokok-pokok keimanan, nas-nas (teks-teks) hukum yang sudah pasti, dan masalah-masalah yang disepakati para ulama, sehingga masalah itu merupakan dalil menurut para ulama dan diberitahukan secara rinci tentang hukum-hukum itu kepadanya, baik hukum riddah (kemurtadan) maupun hukum-hukum yang lainnya, apabila dia mengingkarinya dapat dihukumi sebagai orang kafir."

    Jika seseorang yang melakukan penyimpangan tersebut di atas berketetapan hati untuk tetap melakukan perbuatan syiriknya, atau berpaling dari dalil yang menjelaskannya, maka orang tersebut dihukumi sebagai orang kafir. Inilah pendapat yang dikemukakan para ulama, dan mereka menjelaskannya dalam pembahasan hukum-hukum pengafiran dan lainnya dan tidak ada alasan untuk memaafkan seseorang yang melakukan penentangan setelah disampaikan kepadanya dalil yang menunjukkan kekufurannya.

    Adapun dalil-dali yang menunjukkan persoalan tersebut banyak sekali. Di antaranya, firman Allah SWT, "? dan Kami tidak mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra': 15), firman Allah SWT, "Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: 'Apakah belum pernah datang kepadamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?' Mereka menjawab: 'Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka Kami mendustakannya dan kami katakan, 'Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun,' kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar." (Al-Mulk: 8 -- 9). Selain ayat tersebut, masih banyak lagi ayat yang lainnya yang menunjukkan bahwa orang-orang kafir itu berhak mendapatkan siksaan setelah mereka berpaling dari dalil yang bersumber dari Allah dan para rasul-Nya, dan mereka berketapan hati untuk berada dalam kekufuran dan kesesatan.

    Dengan demikian, adanya keputusan para ulama yang menetapkan hukuman pengafiran orang yang melakukan perbuatan syirik, dikaitkan dengan telah sampainya dalil, maka bagi orang yang belum sampai kepadanya suatu dalil tidak dapat dihukumi sebagai orang kafir. Bahkan, dia dimaafkan sampai mengetahui dan merasa jelas tentang dalil yang menjelaskan hal tersebut. Inilah masalah pokok yang diserukan agama Islam. Sedangkan yang sudah sampai kepadanya suatu dalil syari'at, lalu dia menentangnya dan berketetapan hati untuk melakukan kemusyrikan dan kekufuran, maka tidak ada cara lain selain menghukuminya sebagai orang kafir.

    Syekh Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu berkata, "Orang yang berketetapan hati melakukan ibadah kepada selain Allah, padahal ibadah itu hanya diperuntukkan bagi Allah semata, maka orang tersebut dihukumi sebagai orang kafir jika telah sampai kepadanya dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang mengingkarinya." Selanjutnya, beliau berkata, "Orang yang menentang sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan Alquran dan hadis, maka orang tersebut dapat dihukumi sebagai orang kafir, fasik, dan berdosa, kecuali apabila termasuk seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya, dia tetap diberi pahala atas ijtihadnya, dan kesalahannya dapat diampuni. Demikian juga dapat dimaafkan, berkenaan dengan orang yang belum sampai kepadanya ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai dalil. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT, "?dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra': 15). Sedangkan apabila telah sampai kepadanya dalil yang ditetapkan berdasarkan Alquran dan hadis, lalu dia menentangnya, dia termasuk orang yang berhak mendapatkan siksaan sesuai dengan perbuatannya, baik itu siksaan dengan cara dibunuh atau siksaan yang lainnya." Kemudian, berkenaan dengan orang yang mencium tanah dan tunduk kepada para Suekh (guru), maka beliau menjelaskan, "Orang yang menyakini bahwa perbuatan tersebut sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri), dan menganggapnya sebagai ajaran agama, maka orang tersebut dihukumi sebagai orang yang sesat lagi pendusta, dan wajib dijelaskan kepadanya bahwa perbuatan itu bukan ajaran agama dan tidak termasuk ke dalam ibadah. Akan tetapi, apabila dia berketetapan hati untuk tetap melakukannya, wajib diperintahkan kepadanya untuk bertobat, dan jika dia menolak, dia berhak untuk dibunuh."

(Katib).

Sumber: Al-Jahl bi Masailil I'tiqad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Hukum Orang yang Keliru dalam Memahami Berbagai Macam Syirik karena Ketidaktahuannya

Terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara masing-masing orang dalam memahami agama Islam ini. Penyebabnya banyak sekali, tetapi sebab yang paling berpengaruh adalah lingkungan tempat dia tinggal. Selain itu, ada sebab yang lain lagi yaitu perbedaan tingkat SDM masing-masing orang.

Kemudian, setelah itu muncul kekeliruan yang dilakukan oleh mereka sebagai dampak dari kesamaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus yang terdiri dari orang-orang yang menggunakan ilmunya untuk kezaliman dan permusuhan, yang mereka memposisikan dirinya sebagai penyeru kebid'ahan, penyimpangan, dan penumpas agama yang benar dan penganutnya. Tetapi, sebagaian dari mereka yang melakukan kekeliruan itu disebabkan oleh pemahamannya yang keliru dan mengikuti para syekh (guru). Padahal, guru-gurunya itu salah, sehingga hal itu menimbulkan malapetaka bagi diri mereka dan bagi orang awam yang mengikutinya.

Sebagian besar penyebab timbulnya kemusyrikan itu adalah ketidaktahuan tentang rincian sesuatu yang diwajibkan oleh Allah SWT, berupa keikhlasan dalam beribadah, dan penyebabnya bukanlah adanya keinginan untuk menyembah selain Allah, atau adanya keyakinan bahwa sesuatu selain Allah itu berhak untuk disembah selain menyembah Allah. Misalnya, seandainya penyembah berhala itu ditanya, mengapa dia menyembah berhala? Maka, dia akan menjawab, "Karena berhala-berhala itu dapat mendekatkan diri kepada Allah," sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang musyrik pada masa Rasulullah saw. Seandainya ada seorang muslim di kalangan orang awam yang melakukan kekeliruan, sehingga menganggap perbuatan syirik itu sebagai ibadah, lalu ditanyakan kepadanya, mengapa kamu menyembah kuburan? Maka dengan serta merta dia akan menjawab, "Aku berlindung kepada Allah dari beribadah kepada selain Allah, dan dengan cepat akan mengucapkan 'Laa Ilaaha Illallahu, Muhammadur Rasuulullahi'."

Perbuatan yang terakhir ini merupakan sesuatu yang lazim terjadi di kalangan umat Islam yang mengaku bertauhid dan membebaskan diri dari ibadah kepada selain Allah. Hal ini merupakan sesuatu yang membedakan dari penyembah berhala sebelum masa kenabian Muhammad saw. yang secara tegas menolak ketauhidan, melakukan kemusyrikan, dan membagi-bagi ibadah antara Allah dengan berhala-berhala.

Dengan demikian, hukuman yang harus ditetapkan kepada mereka yang melakukan kekufuran karena kekeliruan dalam memahami berbagai macam kemusyrikan termasuk sesuatu yang tidak boleh ditetapkan secara serampangan, melainkan harus ditetapkan secara teliti dan saksama, harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan, dan tidak adanya hal-hal yang menghalangi untuk ditetapkannya hukuman tersebut. Yaitu, tidak boleh mengabaikan kemestian yang bersifat umum yang menjadi tuntunan dari ketauhidan (yang dapat memelihara darah dan harta) yang ditetapkan melalui ucapan dua kalimat syahadat, di sela-sela kekeliruan yang dilakukan oleh pelakunya karena merasa samar dalam memahami perbuatannya yang bertentangan dengan kemestian yang bersifat umum dari ketauhidan itu. Bahkan, kekeliruan dalam memahami perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang disyariatkan itu muncul dalam hatinya. Oleh karena itu, yang paling penting dalam menetapkan hukumannya adalah hilangnya kesamaran dalam memahami suatu dalil.

Sebab-Sebab yang Menghalangi Ditetapkannya Hukuman Kafir terhadap Orang yang Keliru dalam Melakukan Suatu Perbuatan yang Dikategorikan sebagai Perbuatan Syirik

1. Ketidaktahuan yang disebabkan karena baru masuk Islam, atau karena hidup di daerah pedalaman yang sangat jauh dari sentuhan ilmu pengetahuan.

Dari Abu Waqi' al-Laitsi r.a. seraya berkata, "Kami bepergian bersama Rasulullah saw. ke Hunain, dan termasuk orang yang baru terbebas dari kekufuran (mereka masuk Islam pada masa Fathu Makkah/Penaklukan kota Mekah) lalu beliau menjelaskan, 'Kami melewati sebuah pohon, maka kami berkata, 'Wahai Rasulullah saw., jadikanlah bagi kami tempat bergantung sebagaimana mereka (orang-orang kafir) memiliki tempat bergantung, di mana pada waktu itu orang-orang kafir memiliki sebuah pohon yang digunakan sebagai tempat i'tikaf oleh mereka, dan dijadikan sebagai tempat menggantungkan senjata mereka, di mana pohon tersebut biasa mereka sebut sebagai pohon yang memiliki tempat bergantung.' Ketika Kami mengatakan hal tersebut kepada Nabi saw., maka beliau dengan serta merta bersabda, 'Allahu Akbar, Demi Zat yang mengusai diriku, perkataanmu itu sama seperti yang dikatakan Bani Israel kepada Musa, 'wahai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).' Lalu Musa menjawab: 'Sesungguhnya kami ini adalah kaum yang mengetahui (sifat-sifat Tuhan).' Maka, akankah kamu melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelummu'."

Hadis tersebut menunjukkan beberapa permasalahan: pertama, mereka itu termasuk para sahabat yang baru masuk Islam, yakni mereka masih memiliki keimanan dan ketauhidan yang bersifat umum. Hal ini nampak sekali dari perkataan mereka yang mengatakan bahwa mereka itu termasuk orang yang baru terlepas dari kekufuran. Karena itulah, mereka dimaafkan karena ketidaktahuannya tentang sesuatu yang harus mereka tuntut. Kedua, tuntutan mereka itu mengandung kemusyrikan. Karena itulah, Nabi saw. bersumpah bahwa apa yang mereka tuntut itu sama dengan sesuatu yang dituntut oleh Bani Israel dari Nabi Musa as, tetapi mereka tidak dihukumi kafir dengan melakukan perbuatan itu. Karena, mereka termasuk orang-orang yang baru terlepas dari kekufuran, dan belum sampai kepada mereka penjelasan tauhid yang dapat menghindarkan mereka dari perbuatan syirik tersebut. Ketiga, adanya ketetapan hati untuk tetap melaksanakan perbuatan syirik setelah dia mengetahui dalil yang menunjukkan akan kekufurannya. Sekiranya dia bersikukuh melakukan perbuatan syirik, padahal dia telah dilarang dan telah dijelaskan kepadanya bahwa perbuatannya itu termasuk perbuatan syirik, tetapi dia tidak menghentikannya, maka orang yang demikian dihukumi sebagai orang kafir. Sedangkan menghentikan perbuatan syirik dengan cara memenuhi tuntutan dalil yang menjelaskannya menjadi sebab tidak ditetapkannya hukuman kafir kepadanya.

Kisah ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, karena seseorang muslim, bahkan seorang ulama sekalipun, terkadang terjerumus ke dalam perbuatan syirik, dan dia tidak menyadari bahwa perbuatannya itu termasuk perbuatan syirik. Oleh karena itu, betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan perlunya membebaskan diri dari kebodohan. Pelajaran lainnya adalah bahwa seorang muslim yang berijtihad jika mengeluarkan perkataan yang mengandung kekufuran, sementara dia tidak menyadarinya, dan dia diingatkan tentang hal itu, lalu dia bertobat seketika, maka dia tidak dihukumi sebagai orang kafir. Seperti perkataan yang dikemukan oleh Bani Israel dan mereka para sahabat yang telah mengajukan tuntutan kepada Nabi saw.

Imam Ibnu Hazm r.a. berkata mengenai sebagian pengertian hadis tersebut di atas, "Dalam hadis itu dijelaskan tentang pengampunan yang diberikan kepada orang yang belum tahu, di mana dia tidak dihukumi keluar dari agama Islam karena melakukan suatu perbuatan yang apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh orang alim yang telah mengetahui dalilnya, maka dia akan dihukumi sebagai orang kafir. Karena, mereka yang pandai berbicara itu telah mendustakan Nabi saw., sementara membohongi Nabi saw. itu termasuk kekufuran menurut kesepakatan para ulama, tetapi karena ketidaktahuan mereka dan mereka itu termasuk orang-orang Arab pedalaman (Baduwi), maka perbuatan yang telah mereka lakukan dimaafkan karena ketidaktahuannya, sehingga mereka tidak dihukumi sebagai orang-orang kafir."

Ibnu Taimiyyah berkata, "Banyak sekali manusia yang hidup pada tempat dan masa yang jauh dari sentuhan ilmu kenabian, dan tidak ada orang yang menyampaikan sesuatu yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yaitu Alquran dan hadis, sehingga mayoritas di antara mereka tidak mengetahui sesuatu yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dan tidak ada orang yang menyampaikannya. Apabila dia mengingkari suatu hukum, maka dia tidak dapat dihukumi dengan orang kafir. Oleh karena itu, para imam telah sepakat bahwa orang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari orang lain dan orang yang beriman, sementara dia sendiri termasuk orang yang baru masuk Islam, lalu dia mengingkari suatu hukum yang sudah jelas dan periwayatannya bersifat mutawatir, maka orang tersebut tidak dapat dihukumi sebagai orang kafir, sehingga dia mengetahui apa yang telah dibawa oleh Rasululah saw. Sebagaimana hal ini disinyalir dalam suatu hadis: "Akan datang kepada manusia suatu masa di mana mereka tidak mengetahui hukum salat, zakat, puasa, dan haji, kecuali kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah lanjut usia, sehingga mereka berkata, 'Kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami mengucapkan, 'Laa Ilaaha Illahu'." Kemudian Hudzaifah bin al-Yamaan berkata, "Apa manfaat dari kalimat 'Laa Ilaaha Illalhu' bagi mereka? Beliau menjawab, "Sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari neraka." (Katib).

Sumber: Al-Jahl bi Masailil I'tiqad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sumber: www.ALISLAM.or.id

Hak-Hak al-Wala'

Seorang mukmin dalam wala' dan barra' harus senantiasa memenuhi hak-hak yang merupakan konsekuensi dari sikap wala' dan barra'nya.

Jika ia berwala', ada hak-hak wala' yang harus ia penuhi. Pertama, hijrah: yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan poliik kontemporer yang tidak memungkinkan. Allah swt berfirman yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab, 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).' Para malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak mereka yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (An-Nisaa': 97 -- 99).

Kedua, membantu dan menolong kaum muslimin dengan lisan, harta, dan jiwa di semua belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah SWT berfirman yang artinya, "(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberkan pertolongan kecuali kepada kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka." (Al-Anfaal: 72).

Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, "Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagian menyangga sebagian yang lain." (HR Bukhari Muslim). "Tolonglah saudaramu, dalam keadaan menganiaya atau dianiaya." (HR Bukhari dari Anas dan Muslim dari Jabir). "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, ia tidak menganiaya, tidak meremehkanya, tidak menyia-nyiakannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)." (HR Muslim dari Salim dari bapaknya).

Ketiga, terlibat dalam harapan-harapan dan kesedihan-kesedihan kaum muslimin. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Perumpamaan kaum muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang sesama mereka bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan begadang." (HR Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam hal ini adalah mengangatkan, memberitakan, dan menyebarkan masalah-masalah yang mereka hadapi kepada segenap kaum muslimin.

Keempat, hendaklah ia mencintai bagi kaum muslimin apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan atau mendendam terhadap mereka. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri." (HR Bukhari Muslim dari Anas).

Kelima, tidak mengejek, mencaci, dan berghibah serta menyebarkan namimah (berita yang menyebabkan permusuhan) terhadap kaum Muslimin. Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Hujurat: 11 -- 12).

Keenam, mencintai kaum muslimin dan berusaha untuk selalu berkumpul bersama mereka. Rasulullah saw. bersabda, "Adalah suatu keniscayaan bagiku mencintai orang-orang yang saling menziarahi." (HR Ahmad dari Abu Muslim al-Khalani). "Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah." (HR Tabhrani dari Ikrimah). Allah SWT berfirman, "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini." (Al-Kahfi: 28).

Ketujuh, melakukan apa yang menjadi hak-hak kaum muslimin seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara batil dan lainnya. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka dia bukan dari (golongan) kami." (HR Muslim dari Abi Hurairah). "Hak seorang muslim atas seorang muslim yang lain ada enam: bila kamu melihatnya berilah salam padanya, jika ia sakit jenguklah ia, jika ia mai hantarkanlah jenazahnya." (HR Muslim).

Kedelapan, bersikap lemah-lembut terhadap kaum muslimin dan mendoakan serta memohonkan ampun bagi mereka. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi." (HR Bukhari Muslim). "Bukanlah dari (golongan) kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua di antara kami dan tidak menyayangi yang lebih mudan di antara kami." (HR Tirmidzi).

Kesembilan, menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah mereka dari kemunkaran serta menasihati mereka. Rasulullah saw. bersabda, "Agama itu adalah nasihat." Mereka bertanya, "Untuk siapa ya Rasululla?" Beliau menjawab, "Untuk Allah dan Rasul-Nya dan pemimpin serta masyarakat umum kaum muslimin." (HR Muslim dari Abu Ruqayah). "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka hendaklah dengan lisannya, jika ia tidak sanggup maka hendaklah dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman." (HR Muslim).

Kesepuluh, tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum muslimin serta membeberkan rahasia mereka kepada musuh-musuh mereka. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mencari-mencari kesalahan mereka...." (Al-Hujurat: 12).

Kesebelas, memperbaiki hubungan di antara kaum Muslimin. Allah SWT berfirman, "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya." (Al-Hujurat: 9).

Keduabelas, tidak menyakiti mereka. Sabda Rasulullah yang artinya, "Orang muslim itu ialah orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya." Maksudnya, dari perkataan dan perbuatannya. (HR Bukhari dari Ibnu Umar dan Muslim dari Ibnu Juraij).

Ketigabelas, bermusyawarah dengan mereka. Firman Allah SWT, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159). Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang dimintai musyawarah itu adalah orang yang dipercaya." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Kempat belas, bersifat ihsan dalam perkataan dan perbuatan. Firman Allah SWT, "Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah: 195). Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu." (HR Muslim).

Kelimabelas, bergabung dengan jamaah mereka dan tidak terpisah dari mereka. Firman Allah SWT, "Berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103). Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang meninggalkan jamaah sejengkal saja, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah." (HR Bukhari dari Anas dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Keenambelas, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah SWT berfirman, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2). (Katib)

Sumber: Al-Madkhal Lidiraasat al-Aqidah al-Islamiyyah 'ala Madzhabi Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah, Dr. Ibrahim bin Muhamad bin Abdullah al-Buraikan

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sumber: www.ALISLAM.or.id

;;